
Saat itu aku merindukan rumah ditengah deburan selongsong peluru dan desir ledakan granat yang memijat telinga. Para tentara bayaran itu perlahan mendekati garis pertahanan kami, temanku sesama pejuang kemerdekaan yang sepertinya sudah tak mungkin lagi aku dapatkan. Kami hanya tersudut dan bersembunyi di bunker yang penuh darah dan potongan tubuh teman-teman kami. Aku bingung harus kukemanakan pasukanku yang tersisa beberapa orang ini. Tubuh mereka mengingkari keberadaan peluru yang menari indah berbalut darahnya.
Mereka berteriak memanggil namaku sambil memegang potongan kaki dan tangan mereka sendiri “cepatlah! Berikan perintah!!!”. Tapi aku hanya gemetar sambil bersandar di bunker saat melihat kondisi mereka yang terlihat lebih siap untuk tertembak mati daripada menghirup udara kemerdekaan yang sudah tidak mungkin lagi. Dalam ketakutan itu dua orang prajuritku terhempas keluar dari bunker oleh meriam tank biadab itu dan kutemukan jari-jari mereka terlempar dalam pangkuan dan telapak tanganku. Kini aku hanya tinggal berdua bersama tentara pelajar yang masih sangat ketakutan dengan perang pertamanya ini. Satu hal yang pasti, aku tidak akan bisa kembali kerumah lagi.
Tentara amatir disampingku ini tiba-tiba menatapku dengan tatapan kosong sambil mengisi senjatanya kembali. “aku duluan. Kembalilah kerumahmu!” itulah kata-kata terakhirnya padaku saat ia memutuskan untuk keluar dari bunker, menjadi daging umpan, dan menembak orang-orang licik itu dengan amarah. “bangsaaaat! Ambilah punyaku!!!” Dia menembak membabi buta seiring caciannya yang akhirnya terhenti saat tiga peluru menembus dada dan kepalanya ditemani molotof yang meledak indah bersama isi perutnya. Kini aku sendiri. Hanya dua pilihanku. Tetap mematung disini hingga mereka menembak kepalaku dari jarak dekat, atau lari dari bunker dan tertembak dari belakang. Hahaha, tetap saja tidak bisa pulang.
Saat itulah kematian menjadi sahabatku. Dia menawariku sebatang malboro dan pergi berjalan-jalan. Sedikit berpikir bahwa ketiga pilihan itu tetap saja tidak mengantarku kembali menikmati opor ayam ibu dengan sambal jeruknya, lebih baik kuambil rokok dan berjalan santai dengan kematian. Kuisi kembali pistol dan maverick pemberian almarhum komandanku sambil tertawa “hahaha, ku ambil rokoknya 5 batang ya……”. Aku berdiri kembali diatas sepatu yang dibolongi pecahan granat, menyapu air mata dan darah yang menghalangi penglihatanku. Rompi anti peluru dan helm ini terasa berat dan mengganggu gerakan geriliyaku. Aku keluar dari bunker tanpanya dan memamerkan wajah ceriaku pada tentara bayaran yang tinggal tiga orang dengan beberapa tank yang setengah terbakar. Kuhirup dalam-dalam rokok dari kematian itu dan melepaskan butiran peluru dari senapanku dengan penglihatan yang mulai kabur dan senyum lepas dibawah sengatan rembulan. Tubuhku bergetar oleh tarian maverickku yang terus melesatkan tiap butir pelurunya sambil tertawa riang bersamaku.
Senapan wasiat itupun akhirnya gugur juga setelah butiran terakhir ia muntahkan. Kini ia kuangkat menjadi penjaga bunker dan kembali menari bersama pistol yang terbaring nyaman dalam genggamanku namun ia hanya memiliki enam peluru di dalamnya. Kuarahkan sebisa mungkin dengan kaburnya mataku kearah kepala busuk mereka semua. “door!!” satu kepala mereka tertembus peluruku, namun sialnya senapannya lebih dahulu menggaung di pahaku. Aku hanya meringis sebentar dan kembali tertawa riang. “tak!” tulang keringku serasa patah terpukul palu 5 kiloan. Peluru kedua berhasil membuatku berteriak dan aku kembali tersenyum semampuku. Kini kulihat mereka sambil berlutut hanya tinggal 100 meter di depanku. “aku akan berlibur sebentar lagi”.
Aku kembali berdiri dan memperbaiki senyum yang hampir pudar dan mengenbalikan tawa yang tadi. Maju selangkah dan kutembakan dengan nafsu kearah dua komunis itu. dada dan perut mereka berhasil dilahap mainan kecilku dan menumbangkan mereka. Terasa legah dan tetap menjaga posisi diatas kedua kakiku. Batangan kedua kembali kuhisap sambil tertawa kembali. “dug!!!” peluru entah dari mana asalnya menembus punggungku. Tepat dijantungku. Aku bisa merasakannya. Kakiku sekarang tak mampu lagi dibantu nafasku untuk memanggul lubang peluru di tubuhku. Aku mencium langsung darah segar di atas tanah bermesiu, sangat tajam bau keduanya. Kupalingkan wajahku kearah semak yang kusesali tak kubantai saat kami semua masih berdiri. Dari sana, kulihat seorang penembak jitu dengan coretan darah diwajahnya keluar dari semak mempertontonkan gelak kemenangannya.
Seusai kedipan mataku, ia telah berdiri menodongkan laras panjangnya di hadapanku. Entah dibagian mana senjata itu ditodongkan ke tubuhku yang jelas sebentar lagi kami akan menikmati kemerdekaan di neraka, mereka semua sudah menungguku. Tak ada lagi yang bisa kulakukan. Hanya sebatas menelentangkan badanku untuk melihat lebih jelas saudaraku yang akan mengantarku bertamasya sesaat lagi. Ia mengokang senjatanya dan aku yakin akan berlibur dengan lubang besar di keningku. Saat akan menembak ia menyapaku “aku akan menyusulmu nanti teman”. Teringat dengan semua suguhan buatan ibuku saat lebaran, menatap wajah temanku ini, dan ingin menyantap masakan itu bersamanya. “Ibu! Aku pulang”