Kamis, 27 September 2012

Debu dalam Badai


Bagaimana ceritaku ini mengarah
Terlalu banyak arah pilihan, terlewati semuanya oleh kaki.
Mata memburam, selagi pandangan menyempit ruang.
Terarah lurus ke depan tanpa sasaran.

Jika saja jalan itu kosong, hanya seorang di salah satunya, mungkin jelaslah visiku.
Telingaku menjauh dari kepala. Dia benci keramaian ide. Goncangan jiwa.
Dan spontan kita berkata “itu gila!” mengatur tempat anggota bumi yang salah.
Siapa sebenarnya yang gila di sini?

Terang lagi jalanku saat bayang putih melintas.
Tawa dan senyum lepas jadi teras.
Sedih dan benci bersembunyi di kakus.
Berusaha bunuh diri di pembuangan. Tanpa penampung.
Saat malam, keduanya berpesta di ruang tamu.

Tulang-tulang kuremukan. Terolah jadi roti. Tulang rusukku.
Semuanya. Semuanya jadi roti. Harap kan hilang lapar kekasihku.
Tak cukup lagi dengan tengkorak. Selalu lapar.
Tak tersisa lagi untuk lapar- laparmu.

Iri bangkit depan mata. Lihat cinta memainkan jemarinya.
Bibir saling menautkan hasrat.
Belum lagi amarah dan iri berkecamuk
Cinta bermain di balik pintu.

Harusnya penyair punya kebenaran
Tangan pria dan wanita yang bergandengan
Detak jantung saling menikam
Endorphin bocor tak terbendung.
Namun aku dibohongi!

Terasa palsu semua. Ada itu, cerita itu, jemari yang singgah
Selah jemari dan kening. Membawa tenang gosipnya.
Aku terlena. Senang merasa di butuhkan.
Namun hanya jadi ganja, pelepas stress.

Cinta anggap aku pengecut.
Membiarkannya terenggut. Bungkam. Lumpuh niat.
Yah, pengecut yang menyuruh tangan, telinga, dan mata
Menyayangi cinta-cintaku. Mulutku terkepal.
Batin melonglong bodoh.

Aku mencinta untuk bebas. Lagi perbudakan yang kunikmati.
Mencumbu punggung tangannya tulus dengan jiwa.
Bunyi-bunyi bibirnya tak terlepas daun telinga.
Membiarkan baju lusuh  basah air mata.
Hanya budak ternyata.

Boneka sapi yang dimainkan waktu senggang.
Tersibukan hari, si sapi mandi debu kamar.
Sendiri dalam gelap kamar. Menunggu bayang hawa.
Harap jasadnya kan hadir peluk sepiku.
Namun sibuk gauli sedih.

Entah apa pikiran lelaki itu.
Mencintai tubuh, namun sibuk jarinya pada tombol.
Mencintai tubuh ‘tuk lepas benci.
Sesal pun ikut dalam barisan. Terlambat.
Si tolol sengaja menunggu.

Tubuhnya melintas depan mata.
Bibir bergetar. Cintanya tiba. Hanya depan mata.
Tatapnya tak lagi koyak resah.
Hanya percepat darah mengalir bersama amarah.
Sesal kembali ikut rombongan.

Kulupakan Tuhanku. Kulupakan orang tua dan hariku.
Kulupakan bumi. Kulupakan cita-cita.
Demi mengingat nama-nama itu. Nama yang bersandiwara atas kasihnya padaku.
Egois nurani-nurani itu. Membiarkan kulitku kusam penuh luka.

Satu arah beristrikan akal. Mencintainya.
Mendekap tubuh kecil itu agar tak ciut senyum.
Terpaksa rapuh jasad dan iman.
Seperti itu inginnya.

Rasa selalu tertutup. Di anggap lawakan.
Butuh bencana.
Butuh kematian untuk dia tahu.
Kenapa kau setega ini, sayang?

Tak ingin status. Hanya hadir.
Senang dan sedih dalam suka.
Dekap erat. Hangatkan jemariku.
Hanya itu harapku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar