Gedung besar yang hanya terlihat
setengah bentuknya. Terlihat dari sebuah tempat duduk, di tengah dua
kerindangan pohon besar. Aku melihatnya dengan tatapan kosong mengawang. Tiupan
lembut udara pada tiap inci tubuhku, mendorong konsentrasiku ke titik nol.
Sekelompok orang berteduh dan bercengkrama dibawah gedung tua yang mahal.
Kurasakan beberapa ekor semut dari tanah hitam di bawah kaki mulai mengerat
kulit-kulit kakiku. Bumi menuntunku dalam impian, semut-semut mendorongku ke
dalam hidup.
Terlihat seorang gadis kecil
berdiri kaku di bawah atap gedung sedang memandang ke sekitarku. Tubuhnya
terlihat gemetar, serasa ingin menari sesukanya namun terkekang urat-urat
hidupnya. Mungkin akibat gen yang menyusunnya. Ia tersenyum dan melambaikan
tangan padaku. Matahari mulai meredup dan memaksaku untuk mengenali gadis kecil
itu. Sentuhan udara sore memaksaku untuk bangkit dan membuat jarak lebih dekat
dengannya. Matahari mulai menyilau ditiap langkah, ditiap hembusan nafas. Aku
mulai menikmatinya.
Jarak kami telah bisa memberikan
wajah indah sore yang menjanjikan. Grafitasi terus menuntunku padanya dengan
kain harap yang menutup batinku. Aku mulai menikmati tiap jarak kami yang mulai
dan terus berkurang. Menikmati senyumnya, belaian kala mataku redup, terlupakan
sejenak beban hidup. Namun saat jarak kami makin dekat, fisiknya memudar. Makin
lama senyumnya perlahan menjadi tangis. Hasratnya menjadi abstrak. Udara sore
itu tidak lagi menuntunku. Ia bahkan mendorongku melewati selokan yang
melintang di depannya.
Tiba-tiba kakiku terasa panas.
Semut- semut tadi kini berubah jadi hitam. Mereka naik dan mulai mengerat kulit
di kakiku dengan ganas. Aku terkejut dan mulai mengibasnya dengan tanganku.
Terlalu sakit keratan yang dibuat hingga aku kembali terduduk di antara dua
kerindangan. Saat sadar, aku kembali mencari gadis kecil itu. Dia telah hilang.
Fisiknya menghilang dari pandanganku. Tapi, belaian udara sore sudah tak
sesejuk sentuhan tangan-tangan mungilnya.matahari sudah tak sehangat senyum
kecilnya. Gravitasi sudah tak menarik seperti hadirnya.
Aku meratap pada langit. Bumi
memberiku hidangan fatamorgana. Aku menyantapnya dan hidup mencucinya sebelum
kuhabiskan. Semua itu memang hanya impian. Tapi, tidak bisakah aku menyantap
dahulu semuanya? Bumi memanjakanku, matahari menipuku. Dia gadis kecil. Impian
kecilku…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar