Selasa, 15 Mei 2012

Impian Kecil


Gedung besar yang hanya terlihat setengah bentuknya. Terlihat dari sebuah tempat duduk, di tengah dua kerindangan pohon besar. Aku melihatnya dengan tatapan kosong mengawang. Tiupan lembut udara pada tiap inci tubuhku, mendorong konsentrasiku ke titik nol. Sekelompok orang berteduh dan bercengkrama dibawah gedung tua yang mahal. Kurasakan beberapa ekor semut dari tanah hitam di bawah kaki mulai mengerat kulit-kulit kakiku. Bumi menuntunku dalam impian, semut-semut mendorongku ke dalam hidup.
Terlihat seorang gadis kecil berdiri kaku di bawah atap gedung sedang memandang ke sekitarku. Tubuhnya terlihat gemetar, serasa ingin menari sesukanya namun terkekang urat-urat hidupnya. Mungkin akibat gen yang menyusunnya. Ia tersenyum dan melambaikan tangan padaku. Matahari mulai meredup dan memaksaku untuk mengenali gadis kecil itu. Sentuhan udara sore memaksaku untuk bangkit dan membuat jarak lebih dekat dengannya. Matahari mulai menyilau ditiap langkah, ditiap hembusan nafas. Aku mulai menikmatinya.
Jarak kami telah bisa memberikan wajah indah sore yang menjanjikan. Grafitasi terus menuntunku padanya dengan kain harap yang menutup batinku. Aku mulai menikmati tiap jarak kami yang mulai dan terus berkurang. Menikmati senyumnya, belaian kala mataku redup, terlupakan sejenak beban hidup. Namun saat jarak kami makin dekat, fisiknya memudar. Makin lama senyumnya perlahan menjadi tangis. Hasratnya menjadi abstrak. Udara sore itu tidak lagi menuntunku. Ia bahkan mendorongku melewati selokan yang melintang di depannya.
Tiba-tiba kakiku terasa panas. Semut- semut tadi kini berubah jadi hitam. Mereka naik dan mulai mengerat kulit di kakiku dengan ganas. Aku terkejut dan mulai mengibasnya dengan tanganku. Terlalu sakit keratan yang dibuat hingga aku kembali terduduk di antara dua kerindangan. Saat sadar, aku kembali mencari gadis kecil itu. Dia telah hilang. Fisiknya menghilang dari pandanganku. Tapi, belaian udara sore sudah tak sesejuk sentuhan tangan-tangan mungilnya.matahari sudah tak sehangat senyum kecilnya. Gravitasi sudah tak menarik seperti hadirnya.
Aku meratap pada langit. Bumi memberiku hidangan fatamorgana. Aku menyantapnya dan hidup mencucinya sebelum kuhabiskan. Semua itu memang hanya impian. Tapi, tidak bisakah aku menyantap dahulu semuanya? Bumi memanjakanku, matahari menipuku. Dia gadis kecil. Impian kecilku…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar