Bulan menyembung. Bulan menipis. Entah berapa kali bulan bersikap seperti itu saat dia duduk bawah naungannya. Bulan memainkan jemarinya di atas daun-daun dan wajah Eva. Matanya coba tuk terobos cahayanya dari celah dedaunan dengan harap kan cair air mata mengkristal. Ingin berteriak kluar kerudungnya hingga terhempas daun kering sekitarnya, jauh, hingga jemari rembulan tak lagi mengelusnya. Eva terus termenung di atas bongkah hitam. Raganya berkeringat, jiwanya beku. Dia terus terdiam di bawah sana tanpa sadar diamnya menghentikan langkah mentari.
Saat itu ia menemukan seekor kumbang hitam dengan hanya sebelah sayapnya. Tangannya coba tuk menggapai dahan, menurunkan kumbang cacat itu. Kornea eva menghitam. Peluh mengairi dahi mengerut. Dahannya agak sulit digapai tangisan jemari eva. Tidak tinggi, hanya sedikit berduri, dan mudah terbuai angin. Pada angin dia berteriak. Pada bumi ia bertumpu untuk gapaiannya.
Sudah beberapa hari ini eva terlihat berjalan bingung. Mungkin saja dia masih penasaran untuk kembali ke tempat semalam. Mungkin saja dengan kembali, ia bisa menemukan kumbang yang lebih berwarna dengan sayap-sayap yang cantik. Mungkin bukan kumbang saja, bisa saja merpati atau gagak. Sambil mencari, kelopak matanya terus melembab, hidungnya merah, tangannya menggapai kepastian abstrak. Tak tahan melihat tangis menari erotis dalam kalbunya.
Berapa hari berlalu. Wajahnya sedikit demi sedikit mulai cerah. Burung pagi hari menghibur setiap buka mata cerianya. Kelinci dan kucing menemaninya bermain dikala senggang, dan ketenangan didekap saat resah. Eva mulai tenang. Sedikit senang dan kerja kadang membuat air mata kembali meneriaki jiwanya. Namun setidaknya dia sudah tenang.
Eva……….
Ingin sekali kami memeluknya erat. Ingin sekali ku usap air matanya dengan baju lusuhku sekali lagi. Eva memberikan tenang. Setenang matanya, setenang belaiannya, setenang dekapannya. Mengapa ia tunggal?.........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar