Selasa, 10 Juli 2012

Pemimpi di Balik Dinding


Burung – burung itu berkicau bahagia. Kebahagiaan bersama bersorak ria menyambut hari baru. Dalam dingin dan gelap mereka masih dapat berkicau sebahagia itu, ingin bergabung bersama nyanyian mereka namun aku tak memiliki sayap berembun untuk berbaris dan berteriak lantang bersama di langit subuh. Semakin terang, mereka semakin byk berdatangan melantunkan pujian bagi hari-Nya. Disini aku hanya terdiam bersama gelap dinding dan terjebak lelap.

Mereka semua disini. Mereka disini satu bumi bersamaku. Mereka bernyanyi dan terbang sesukanya, sedangkan aku hanya bisa berlari dengan mata rabun meninggalkan sang waktu yang sombong bersama sahabat yang terjerat mimpi. Terlalu egois untuk itu semua. Namun, apakah salah jika aku menginginkan sayap dan sedikit hembusan untuk menghempasnya?

Semua hanya mimpi. Semua Cuma sekedar mimpi. Mengapa harus ada mimpi dalam hidup? Seakan kicauan itu menertawakan kemiskinan batinku.burung-burung itu dengan mudahnya membuang nafas. Mengucapkan cinta sesuka mereka, dan tanpa segan menyayangi hari-Nya. Rasa malu mengalir deras dalam nadi. Mataku sudah tak mampu berkedip. Senyum terasa berat di bibr.

Aku telah mencoba untuk terbang. Mencoba bernyanyi sekeras mungkin. Mencoba menyayangi dengan tulus, dan mengucapkan cinta di setiap hariku. Tapi mengapa semua itu menjadi sangat sulit saat ini?

Sudah saatnya aku duduk dan menarik nafas pagi. Sudah saatnya menyadari, mimpiku takkan terbang melewati dinding dengan kicauan cinta di setiap  embun pagi.

Aku hanya pemimpi di balik dinding.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar