Burung – burung itu berkicau
bahagia. Kebahagiaan bersama bersorak ria menyambut hari baru. Dalam dingin dan
gelap mereka masih dapat berkicau sebahagia itu, ingin bergabung bersama
nyanyian mereka namun aku tak memiliki sayap berembun untuk berbaris dan berteriak
lantang bersama di langit subuh. Semakin terang, mereka semakin byk berdatangan
melantunkan pujian bagi hari-Nya. Disini aku hanya terdiam bersama gelap
dinding dan terjebak lelap.
Mereka semua disini. Mereka disini
satu bumi bersamaku. Mereka bernyanyi dan terbang sesukanya, sedangkan aku
hanya bisa berlari dengan mata rabun meninggalkan sang waktu yang sombong
bersama sahabat yang terjerat mimpi. Terlalu egois untuk itu semua. Namun,
apakah salah jika aku menginginkan sayap dan sedikit hembusan untuk
menghempasnya?
Semua hanya mimpi. Semua Cuma
sekedar mimpi. Mengapa harus ada mimpi dalam hidup? Seakan kicauan itu
menertawakan kemiskinan batinku.burung-burung itu dengan mudahnya membuang
nafas. Mengucapkan cinta sesuka mereka, dan tanpa segan menyayangi hari-Nya.
Rasa malu mengalir deras dalam nadi. Mataku sudah tak mampu berkedip. Senyum
terasa berat di bibr.
Aku telah mencoba untuk terbang.
Mencoba bernyanyi sekeras mungkin. Mencoba menyayangi dengan tulus, dan
mengucapkan cinta di setiap hariku. Tapi mengapa semua itu menjadi sangat sulit
saat ini?
Sudah saatnya aku duduk dan menarik
nafas pagi. Sudah saatnya menyadari, mimpiku takkan terbang melewati dinding
dengan kicauan cinta di setiap embun
pagi.
Aku hanya pemimpi di balik dinding.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar