Pukul 3 sore. Setiap langkah di pesisir tersengat kulit kakinya oleh pasir terpanggang terik. Setiap langkah terus disaksikan oleh mata kuning besar yang menyala. Kapal-kapal raksasa terlihat seperti perahu kecil dalam udara dingin. Andai dia di sini bersamaku. Andai dia dapat memperhatikan tiap langkahku seperti matahari.
Tanganku seperti mataku. Tak dapat melihat langsung matahari. Lautan coba menolong, namun segera abstrak tertelan gelombang. Angin coba tuk bawa kabarnya kepadaku. Namun kembali suaranya berbisik kasar terganggu riak ombak. Ku coba untuk berteduh bawah pohon pesisir. Namun mendung terlalu egois.
Mataku iri dengan anak-anak yang menikmati semua gangguan ini. Menyatakan mimpi, melayang dalam senang. Tak perduli tawa mereka terpecah gelombang. Jiwa dan gembira mereka lebih tinggi dari ombak.
Kini kepalaku coba berpaling ke belakang. Gubuk-gubuk kecil kosong berderet di bawah naungan langit hitam. Anginnya tak terasa seperti wajah pantai tadi. Pasirnya lebih panas. Lebih hitam dan lebih kotor. Andai dia bersamaku di sini. Bersama menangisi keadaan ini.
Kutinggalkan sejenak tempatku berteduh. Bertolak puluhan meter ke selatan mencari angin baru. Sepanjang pantai, gubuk-gubuk kecil dan tertutup. Seorang tua renta menawarkan gubuknya pada pasangan yang melintas. Menawarkan gubuk-gubuk haram. Tugu berbentuk layar terlihat usang dan hancur tumpuannya. Tugu besar itu sama haramnya dengan gubuk tadi.
Di ujung jalanku. Di ujung sungai. Sungai berdinding batu-batu besar dengan beberapa binatang aneh yang melekat. Ternyata anginnya sama saja bahkan lebih parah dengan gerimis. Aku kembali dengan perasaan yang tak banyak berubah. Pelangi mengantarku hinga kembali bersama yang lain.
Andai dia ada disini. Andai dia bersama pelangi temani langkahku.
Andai dia di sini. Di Parahyangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar