Kamis, 26 Juli 2012

Parahyangan


Pukul 3 sore. Setiap langkah di pesisir tersengat kulit kakinya oleh pasir terpanggang terik. Setiap langkah terus disaksikan oleh mata kuning besar yang menyala. Kapal-kapal raksasa terlihat seperti perahu kecil dalam udara dingin. Andai dia di sini bersamaku. Andai dia dapat memperhatikan tiap langkahku seperti matahari.
Tanganku seperti mataku. Tak dapat melihat langsung matahari. Lautan coba menolong, namun segera abstrak tertelan gelombang. Angin coba tuk bawa kabarnya kepadaku. Namun kembali suaranya berbisik kasar terganggu riak ombak. Ku coba untuk berteduh bawah pohon pesisir. Namun mendung terlalu egois.
Mataku iri dengan anak-anak yang menikmati semua gangguan ini. Menyatakan mimpi, melayang dalam senang. Tak perduli tawa mereka terpecah gelombang. Jiwa dan gembira mereka lebih tinggi dari ombak.

Kini kepalaku coba berpaling ke belakang. Gubuk-gubuk kecil kosong berderet di bawah naungan langit hitam. Anginnya tak terasa seperti wajah pantai tadi. Pasirnya lebih panas. Lebih hitam dan lebih kotor. Andai dia bersamaku di sini. Bersama menangisi keadaan ini.
Kutinggalkan sejenak tempatku berteduh. Bertolak puluhan meter ke selatan mencari angin baru. Sepanjang pantai, gubuk-gubuk kecil dan tertutup. Seorang tua renta menawarkan gubuknya pada pasangan yang melintas. Menawarkan gubuk-gubuk haram. Tugu berbentuk layar terlihat usang dan hancur tumpuannya. Tugu besar itu sama haramnya dengan gubuk tadi.
Di ujung jalanku. Di ujung sungai. Sungai berdinding batu-batu besar dengan beberapa binatang aneh yang melekat. Ternyata anginnya sama saja bahkan lebih parah dengan gerimis. Aku kembali dengan perasaan yang tak banyak berubah. Pelangi mengantarku hinga kembali bersama yang lain.

Andai dia ada disini. Andai dia bersama pelangi temani langkahku.
Andai dia di sini. Di Parahyangan. 

Selasa, 10 Juli 2012

Pemimpi di Balik Dinding


Burung – burung itu berkicau bahagia. Kebahagiaan bersama bersorak ria menyambut hari baru. Dalam dingin dan gelap mereka masih dapat berkicau sebahagia itu, ingin bergabung bersama nyanyian mereka namun aku tak memiliki sayap berembun untuk berbaris dan berteriak lantang bersama di langit subuh. Semakin terang, mereka semakin byk berdatangan melantunkan pujian bagi hari-Nya. Disini aku hanya terdiam bersama gelap dinding dan terjebak lelap.

Mereka semua disini. Mereka disini satu bumi bersamaku. Mereka bernyanyi dan terbang sesukanya, sedangkan aku hanya bisa berlari dengan mata rabun meninggalkan sang waktu yang sombong bersama sahabat yang terjerat mimpi. Terlalu egois untuk itu semua. Namun, apakah salah jika aku menginginkan sayap dan sedikit hembusan untuk menghempasnya?

Semua hanya mimpi. Semua Cuma sekedar mimpi. Mengapa harus ada mimpi dalam hidup? Seakan kicauan itu menertawakan kemiskinan batinku.burung-burung itu dengan mudahnya membuang nafas. Mengucapkan cinta sesuka mereka, dan tanpa segan menyayangi hari-Nya. Rasa malu mengalir deras dalam nadi. Mataku sudah tak mampu berkedip. Senyum terasa berat di bibr.

Aku telah mencoba untuk terbang. Mencoba bernyanyi sekeras mungkin. Mencoba menyayangi dengan tulus, dan mengucapkan cinta di setiap hariku. Tapi mengapa semua itu menjadi sangat sulit saat ini?

Sudah saatnya aku duduk dan menarik nafas pagi. Sudah saatnya menyadari, mimpiku takkan terbang melewati dinding dengan kicauan cinta di setiap  embun pagi.

Aku hanya pemimpi di balik dinding.