Sepertinya sebuah keputusan untuk memulai ketidak keseimbangan pikiran sudah kulakukan hari ini, sepertinya begitu. Kembali menuju danau yang sudah kunikmati dua kali pijatan refleksinya. Kembali pula bertemu dengan pohon yang menguning penghuni tanah yang terhubung dengan daratan di sebelahnya hanya dengan jembatan yang telah rusak, tinggal beberapa balok kayu sebagai pijakan. Pohon itu dikelilingi oleh beberapa kumpulan bebek yang sedang tidur siang. Anginnya cukup, matahari juga tidak terlalu terik dipukul 13.00 itu.
Kusapa kembali pohon tua itu sambil duduk bersila di dekatnya bersama kelompok bebek pemalas itu dan ia menjawab dengan menjatuhkan rantingnya yang kering tepat di lututku. Sambil menikmati gelombang air kecil di danau itu, ku keluarkan segudang cerita dari seorang budha, ajhan bhram tentang pelepasan dari tas usang milikku. Sepertinya cerita itu menarik untuk dipraktekan di danau itu. pertama kekuatan pikiran sejati terletak di titik interseksi antara rasa sedih dan kesenangan yang tersimpan dalam memory, dan kita harus dapat mencapai itu. kuambil posisi bersila, membuat liapatan tangan yang membuat jari-jariku nyaman. Aku mulai mengingat keputusan yang kuambil tadi sebagai pilihan dalam kegagalan sebuah pencapaian yang kuperjuangkan beberapa minggu ini. Itu adalah memory rasa sedih yang kumiliki. Lalu aku mengingat kesenangan yang ku alami saat meniti pencapaian yang tak kunjung terlihat ujungnya itu. setelah itu kucoba mengingat keduanya sekaligus dan mempertemukannya dalam tempat kami semua menyiangi diri. Lama aku berdiam dalam posisi itu. dan apa yang terjadi adalah rasa sedihku kini perlahan ditarik oleh makhluk dari danau dan menyeretnya hingga tenggelam dalam keruhnya air danau. Rasa senangku kini diambil oleh kumpulan bebek yang berkumpul dekat pohon tuaku dan menyuarakannya bersama riuh dahan pohon dan diterbangkan angin. Skarang aku kosong. Mereka semua telah mengambilnya. Tapi apakah ini yang dimaksud ajaran budha itu? titik nol yang harus kita capai. Sepertinya aku sudah memulai proses pelepasan itu. kedua aku harus merelakan semua yang telah diambil ekosistem danau itu dan membiarkan mereka memprosesnya dan aku harus kembali mencerna vesesnya. Setelah mereka menyerap punyaku, sekarang aku harus menyerap secara keseluruhan yang mereka berikan. Angin yang menggelombangkan air danau itu seakan sengaja berhembus kembali melewati kedua lobang hidungku dan memintaku untuk menghirupnya dalam-dalam. Sekarang kepalaku sedikit pusing. Getaran rumput disekitarku menyeimbangkan kembali tubuhku yang mulai goyah dalam posisi itu. suara bebek yang sepertinya bercakap dengan sesamanya seakan bernyanyi dalam telingaku menyelaraskan kembali sel-sel otak yang selama ini tak berkembang setelah peristiwa yang membutakan hati. Pohon itu kembali menjatuhkan seuatu padaku. Kali ini buahnya yang sedikit keras dijatuhkan tepat dikeningku seakan mengingatkan “hey bangunlah! Buanglah nafas yang segar itu dan kembalilah keduniamu”. Segera kuhembuskan perlahan sambil diikuti sisa-sisa kotoran hati yang menyangkut di bulu hidung, terasa gatal namun nikmat. Ketiga, jika tasmu masih terasa berat menggantung di punggungmu, cobalah berdamai dengannya dengan membuang separuh memori pahitmu yang kau simpan rapih dan menumpuk didalamnya. Itu berhasil.
Setelah itu kurapikan diriku dan berjalan ringan sambil menyapa pohon tua dan bebek-bebek malas itu . aku akan kembali lagi besok. Kita bercerita lagi tentang bagian kalian besok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar