Hari ini sensasi yang sama datang lagi. Memberikan dorongan hidup yang menggairahkan seperti kemarin. Aku mencobba untuk tidak terlalu menikmati hiburan itu dengan membiasakan diri atas kehadirannya seperti pemanis harian biasa. Tapi bagaimana jika pemanis itu terus saja kunikmati dari hari ke hari, pagi hingga kembali di titik awal, apakah tidak akan terjadi kecanduan yang nantinya membuatku terserang kencing manis? Aku jadi takut.
Tidak takut terhadap dunianya. Lebih tangguh dan kuat dari seekor pejantan. Bebas, namun tak membunuh harga dirinya. Keceriaan, kasih sayang, dan percaya diri yang di tampilkan di panggung yang membuatku sangat menikmati pertunjukannya dan aku yang sangat dingin, penyendiri, dan kehilangan keceriaan dari hati ini memang sangat membutuhkan pertunjukan yang berbanding terbalik dengan diriku. Gelak tawa yang dihiasi wajah manis itu seakan dapat menopang gudang masalah yang penuh dengan balok kayu, paku, dan sampah yang berserakan di belakang panggung hiburannya.
Aku menjadi sedikit tergoncang. Keinginan untuk menaklukan kembali membutakan penunjuk arah dijalanku. Padahal aku sudah berjanji untuk menjaga mata ini agar tidak berteman akrab lagi dengan hati. Tapi mataku memang penghianat. Dia kembali mencoba hati yang hampir saja sembuh jahitannya untuk segera kedukun dan meminta mempercepat proses penyembuhan itu. “hey, ayolah” kataku “ aku hanya ingin akrab tidak lebih”. Tapi pertunjukan itu banyak menampilkan tukang hipnotis yang menyuruh seluruh penonton mengikuti instruksinya dan seketika mereka tidur serentak. Apakah aku sudah menjadi korban hipnotis itu. Aku berusaha menyangkal, namun, kenyataannya aku telah terhipnotis di atas dan tepat di tengah panggung.
Tapi memang harus diakui, dia juga mempunyai kesempatan untuk membuat ruang jahitan pada diriku. Tapi dia terlalu cerdas, terlalu matang, dan seakan dunia bertekuk lutut padanya. Apakah aku yang seorang dungu, tolol, dan pengecut tak berguna ini bisa mendapat kesempatan untuk menjadi artis yang berduet bersama di panggung? Aku sudah merasa ngeri sebelum mewujudkannya karena toh hasilnya akan sama saja seperti sebelumnya. Tak punya daya saing, tak ada yang menjual. Percuma lagi bantuan yang kuberikan dibelakang panggungnya karena aku hanya seperti pekerja lepas, kuli angkut.
Jika Kau memang tidak memberikan lagi kesempatan yang satu ini, jangan siksa aku dengan membuatku rakus dengan sajian yang Kau berikan namun rantai dileherku tak kunjung Kau lepaskan. Aku rela menjadi anjing peliharaan yang hanya menjaddi penghibur dikala gundah dan ditinggalkan membusuk saat ada kebahagiaan lain diluar sana. Tak masalah. Aku sudah terbiasa dengan situasi seperti itu. Menyayangi dan kurang disayangi, mencintai dan tak pernah dicintai, dan di buang saat tinggal kotorannya saja. Aku pasrah.
Entah dia lupa atau memang tak acuh dengan sikapku selama ini yang seakan membuat semuanya kehilangan hak menjadi yang diprioritaskan. Sudah kucoba untuk memberikannya sama rata, namun, sekali lagi sikecil tidak dapat menarik apa yang sudah dia tunjukan pada jiwaku. Terlalu indah. Terlalu silau, seakan aku tak pantas akan tiket pertunjukan yang sangat mahal itu. Ternyata cuma tinggal harapan. Kelam.
Hari ini kembali kulihat lagi wajah yang kemarin. namun kali ini kepalanya terbungkus kain ungu yang menutup sampai dadanya namun tak menutupi tampang ceria itu. Namun tak kusangka, wajah riang itu hanya sebagai “pembalut” kecacatan panggung hiburannya. Dia membuang segala sampah dan barang tak berguna di depanku. Tapi tak ada rasa marah ataupun tersinggung dengan itu semua. Aku rasa memang lebih baik dia melemparkannya padaku dan bisa menolongnya membuang sampah itu sedikit demi sedikit walaupun karung sampah yang ia bawa selama hidupnya masih terlihat penuh. Namun sekali lagi. Sudah kukatakan. Dia wanita kuat yang tak mudah lelah hanya karena karung sampah besar yang ia bilang hanya sekedar sampah tak lebih dan akan ia bawa pulang untuk menafkahi masa depan yang ia lahirkan.
Sejak saat itu, aku yakin bahwa aku telah dibuat kagum bukan oleh wajah terang itu, namun keceriaannya dalam hidup yang membuatku jatuh cinta. ”APA!!! JATUH CINTA!!!” pikiran itu tiba-tiba saja melintas dan hampir menerobos dan membolongi bibirku. Saat kembali aku melihat wajah dan memfokuskan pandanganku pada matanya yang hanya berjarak satu meter dari bola mataku. Tubuhku tiba-tiba kaku. Tanganku terasa dingin dibawah naungan surya. Kulitku gerah dan berkeringat diantara hembusan angin pagi. ADA APA INI? Apakah dia memiliki kekuatan seperti medusa? Tapi aku masih bertanya-tanya dia membatukan apa pada diriku. Apakah dia membatukan fisikku??? Ataukah kutukan malin kundang itu telah salah arah dan tersesat dalam hatiku??? Aku bingung ingiin berbuat apa saat itu. Aku hanya bisa mengiyakan setiap kata yang keluar dari bibirnya.
Disaat dia membutuhkanku, aku seperti robot yang harus mematuhi segala pintanya. Seperti teroris yang sedang berusaha mencuci otakku namun tak pernah ada penolakan dalam diriku, tak ada pemberontakan, seakan pelayananku hanya untuknya. Tapi menjelang akhir kisahku ini aku mencoba menahan pengaruh tontonan yang menagih kesetiaanku. Aku tak ingin berakhir dengan penutup pertunjukan yang buruk. Jangan sampai aku tal bisa dan tak boleh lagi menyaksikan panggung itu. Tak tahu apakah sanggup membentengi itu. Akupun hanya bisa terdiam dalam gua dan mencuri pandang atas kecantikan si kecil.dasar pengecut!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar