Lucu sekali saat sebuah mimpi menjadi misi, misi di dorong oleh rasa optimis, dan rasa optimis itu tiba-tiba hilang lenyap tak berbekas. Kemana dia? Apa dia bosan hanya menjadi rasa optimis belaka yang selalu dilatar belakangi mimpi? Ahh! Tapi saat rasa itu hilang semua hasil dari dasar yang telah ditetapkan seakan jadi abstrak dan terlihat sama saja dengan rasa yang lain, monotone!
Terasa hambar dan pegal seluruh otot yang menempel di tulang ini saat harus mencoba menjinakan perasaan liar yang terproses cacat di kepala. Kau kehilangan kendali otot, nafas, penggunaan inderamu, dan perasaanmu jadi cacat. Pikiran yang diperban dan berjalan menggunakan tongkat seperti mumi yang telah mati namun bingung apakah dia harus terjaga dalam tidur abadinya, atau berjalan dinaungi alam mimpinya.
Mereka berteriak! Mereka mengumpat dan caci maki terus dikeluarkan untuk mengupas pikiran yang berkulit agar dapat di kunyah lebih mudah tanpa kulitnya yang kotor bekas tanah tempat ia berpijak dan bertumbuh. Tapi masih belum ada pengaruhnya. Terasa pisau itu belum terlalu tajam. Ketumpulannya masih belum memisahkan kulit yang penuh debu dan isinya yang putih bersih dan sangat empuk. Tapi tetap terus mencari pisau yang benar-benar tajam tak terhenti gumpal karet.
Tapi sampai saat ini belum juga kutemukan pisau bahkan pedang sekalipun yang dapat mengupas brutal kulit hitam nan usang itu. Namun pisau yang telah ada itu ternyata bisa memotong batu marmer hitam dan tak mudah hancur itu dengan beberapa kali hujaman secara kejam dan tanpa ampun yang nantinya akan menempel debunya dan menebalkan kulit yang baru tumbuh di atasnya yang akhirnya akan lebih sulit untuk dikupas pada saat panen nanti.
Disaat semua kejadian itu membuat sekelilingmu terasa angkuh dan terusik, mereka kacau, mereka saling menumpat satu sama lain, dirimu sudah menjadi kotoran yang hanya mengikuti kemana selokan dan kanal akan mengarahkanmu , ke laut lepas atau hanya tersangkut di pinggir sungai dan mengendap tanpa fungsi hingga akhirnya terurai hina oleh cacing. Mereka masih tetap menganggapku sampah tak berguna. Apakah mereka tau pecahan batu marmer tadi menebalkan kulit dan merusak rasaku dalam drama dunia ini? Apa mereka sadar mereka yang telah melayangkan pissau secara kejam dam brutal pada batu marmer hitam berdebu itu?
Saat ini aku sudah tidak perduli lagi apa pendapat mereka. Mereka melihat kulit luarnya busuk dan langsung berfikir bahwa itu telah habis masa pakainya dan hanya bisa dibuang dari pada menjadi bakteri. Mereka tidak melihat isinya yang sangat empuk dan putih masih bisa digunakan. Namun perlahan, batinnya sekarat. Tidak tahu lagi langkah apa dan kemana yang harus dituju untuk mengatur kembali jiwa rapuh yang hampir bercerai saat bersetubuh dengan kulit daging dan tulang pengikut jiwa yang setia.
Terasa hambar dan pegal seluruh otot yang menempel di tulang ini saat harus mencoba menjinakan perasaan liar yang terproses cacat di kepala. Kau kehilangan kendali otot, nafas, penggunaan inderamu, dan perasaanmu jadi cacat. Pikiran yang diperban dan berjalan menggunakan tongkat seperti mumi yang telah mati namun bingung apakah dia harus terjaga dalam tidur abadinya, atau berjalan dinaungi alam mimpinya.
Mereka berteriak! Mereka mengumpat dan caci maki terus dikeluarkan untuk mengupas pikiran yang berkulit agar dapat di kunyah lebih mudah tanpa kulitnya yang kotor bekas tanah tempat ia berpijak dan bertumbuh. Tapi masih belum ada pengaruhnya. Terasa pisau itu belum terlalu tajam. Ketumpulannya masih belum memisahkan kulit yang penuh debu dan isinya yang putih bersih dan sangat empuk. Tapi tetap terus mencari pisau yang benar-benar tajam tak terhenti gumpal karet.
Tapi sampai saat ini belum juga kutemukan pisau bahkan pedang sekalipun yang dapat mengupas brutal kulit hitam nan usang itu. Namun pisau yang telah ada itu ternyata bisa memotong batu marmer hitam dan tak mudah hancur itu dengan beberapa kali hujaman secara kejam dan tanpa ampun yang nantinya akan menempel debunya dan menebalkan kulit yang baru tumbuh di atasnya yang akhirnya akan lebih sulit untuk dikupas pada saat panen nanti.
Disaat semua kejadian itu membuat sekelilingmu terasa angkuh dan terusik, mereka kacau, mereka saling menumpat satu sama lain, dirimu sudah menjadi kotoran yang hanya mengikuti kemana selokan dan kanal akan mengarahkanmu , ke laut lepas atau hanya tersangkut di pinggir sungai dan mengendap tanpa fungsi hingga akhirnya terurai hina oleh cacing. Mereka masih tetap menganggapku sampah tak berguna. Apakah mereka tau pecahan batu marmer tadi menebalkan kulit dan merusak rasaku dalam drama dunia ini? Apa mereka sadar mereka yang telah melayangkan pissau secara kejam dam brutal pada batu marmer hitam berdebu itu?
Saat ini aku sudah tidak perduli lagi apa pendapat mereka. Mereka melihat kulit luarnya busuk dan langsung berfikir bahwa itu telah habis masa pakainya dan hanya bisa dibuang dari pada menjadi bakteri. Mereka tidak melihat isinya yang sangat empuk dan putih masih bisa digunakan. Namun perlahan, batinnya sekarat. Tidak tahu lagi langkah apa dan kemana yang harus dituju untuk mengatur kembali jiwa rapuh yang hampir bercerai saat bersetubuh dengan kulit daging dan tulang pengikut jiwa yang setia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar