Rabu, 21 September 2011

Jenuh

Sampai sekarang keyakinan dialah yang terakhir masih berkobar walaupun hanya api biru. Aku sudah tidak mau lagi seperti dulu, terbalap oleh yang lain. Tapi kali ini saat hanya diriku sendiri di sirkuit itu, dia malah tak ingin aku melanjutkan balapan itu. dia bilang dia tak pantas mendapatkan kemenanganku itu dengan alasan dia memang sedang tidak ingin.
 Dulu masih merasa kasihan melihat teman-temanku yang sudah berhasil bersamanya malah menyiakan kesempatan baik itu, namun sekarang rasa benci dengan ke-tololan mereka. “bangsat! Tolol! Goblok kalian semua! Sudah kalian dapat sesuatu yang sangat special di dunia ini tapi kalian hanya bermain-main dengannya!” teriakku saat itu di pinggir danau sebuah universitas di makasar. Saat itu hanya ada sebatang pohon kecil yang sudah menguning daunnya dan aku berbincang dengannya layaknya sahabatku. Aku berkata padanya “apakah menurutmu mereka sangat bodoh teman kecilku? Bisa-bisanya mereka mempermainkan kesempatan yang diberikan sikecil kepada mereka. Saat aku telah bersumpah pada pencipta kita dan orang tuaku untuk tidak bermain-main untuk mengambil kesempatan bersama sikecil, dia sudah tidak ingin lagi seperti kemarin. Apakah dia butuh sebuah bukti sobatku? Tapi bukti seperti apa untuk meyakinkannya? Sejak ia memutuskan seperti itu keinginanku untuk pulang ke kampung halamanku serasa berat. Sejak beberapa kerabat dekatku yang meninggal dunia, aku tak pernah meneteskan air mata satu tetespun. Saat perempuan-perempuan lain yang sebelumnya kucintai tak ingin bersamaku karena mata mereka lebih kuat dari pada hati mereka mataku tetap saja kering. Tapi untuk sikecil air mata dan darah mengucur bergantian dari sudut mataku. Aku sendiri cukup senang akhirnya selama sekian tahun air mataku bisa keluar juga, cukup melegakan. Tapi darah yang mengucur  cukup mengagetkanku. Kau lihat ini teman?” sambil menunjukan darah yang keluar dari mataku “kau lihat ini. Darah ini keluar sejak rasa sesak terus kupendam melihat sikapnya. Sangat ingin ku menangis tapi sepertinya darahku menggantikannya. Tapi selalu kusembunyikan dari yang lain. Aku pikir cukup keren untuk mati disini dengan menangis darah.” Sebuah lelucon putus asa yang kulontarkan pada batang pohon kecil itu.
Setelah itu kuperhatikan sebentar genangan air  itu dan pergi meninggalkan pohon yang sudah mendengarkan keluhanku. “Terimakasih sobat.” Aku berbisik padanya sambil terus melangkah meninggalkan tempat itu. seharian ini aku belum melihat wajah sikecil. Aku berjalan mondar-mandir tak jelas mau melakukan apa. Hanya satu keinginanku saat itu, melihat wajahnya walau hanya sebentar. Anak itu sudah membuatku seperti orang tolol beberapa hari ini. Tapi aku tetap menikmati ketololanku. Mungkin dengan begitu rasa optimisku tetap terjaga hingga mati nanti. Dia pernah bilang bahwa masih ada wanita yang seperti dirinya dan banyak di luar sana. Namun bagiku anak kembar sekalipun tidak akan sama. Aku melihat diri sikecil seperti orang yang rapuh namun masih tetap berusaha bernafas dan melangkah. Dia memang terus bersikap biasa saja padaku, namun aku semakin ingin merangkulnya dan melemparkannya ke udara.
Entah bagaimana caranya untuk merubah keputusannya. Jika harus berlutut dan memohon pada sikecil sambil menciumi kedua punggung tangannya agar dia mau membuka hatinya, akan kulakukan. Aku selalu bingung bagaimana untuk membuktikan padanya bahwa aku tidak akan seperti teman-temanku yang lain. Kenapa bukan aku yang diposisi mereka saat itu? dasar bangsat kalian semua!
Hey Tuhan penciptaku, kau sudah menciptakan iblis dan mengizinkan mereka menggodai dan mengganggu ciptaanmu ini, apakah belum cukup kesenangan yang kau dapat dengan memberikan lagi drama sinetron biadab ini padaku? Pada kami semua? Apakah Kau ingin mendorongku untuk mengikuti kejahilan makhluk api ciptaanmu itu? AKU MERASA SEPERTI DIPERMAINKAN DISINI!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar